Sayonara Piano Sonata – Bab 13

Posted on Updated on

Eroica

 

Translator: Logitechf1f4

Editor: Cucundoweh

Langit pada hari Jumat di penghujung bulan Mei dipenuhi oleh awan gelap. Aku tidak bisa tidur, jadi aku berangkat sekolah lebih pagi. Begitu masuk ke dalam kelas, aku segera dikelilingi oleh teman-teman sekelasku.

“Kudengar kalau kamu akan bertanding dengan hime-sama hari ini?”

“Apa? Apa maksudmu dengan bertanding? Bagaimana jika ia kalah?”

“Apa mungkin ia akan menjadi budaknya seumur hidup?” “Bukankah itu sama saja dengan yang sekarang?”

Wajahku berubah hijau setelah mendengar semua orang mengatakan hal-hal seperti itu.

“Eng …, yah …, kenapa … semua orang tahu soal ini?”

“Bukankah kemarin kamu membicarakannya dengan Ebisawa-san di lapangan?”

“Kalian lihat?”

“Suasananya cukup bagus, tapi kamu tiba-tiba mengatakan sesuatu seperti mengajak bertanding. Para penonton benar-benar kecewa!”

Itu bukan berarti kami sedang menyelenggarakan sebuah pertunjukkan.

“Jadi, kapan kalian akan bertanding? Bertanding dalam hal apa? Yang menang dapat apa?”

Ah, rupanya mereka tidak mendengar bagian tentang bertanding setelah pulang sekolah, toh? Baguslah. Walau sudah berusaha untuk mengalihkan topik, tetap saja aku akhirnya mengatakan pada mereka segala sesuatu selain tempat dan waktu bertanding.

“Sebuah klub baru? Dengan Ebisawa-san? Dan Aihara-san? Beserta Kagurazaka-senpai juga?”

Kenapa mereka bersemangat sekali?

“Kagurazaka-senpai yang kamu maksud tadi itu anak kelas dua?”

“Betul, yang terlihat seperti pemimpin kelompok kunoichi.”

Analogi macam apa itu? Aku tidak dapat memahaminya sama sekali! Terlebih, apa senpai seterkenal itu di sekolah?

“Membentuk band di ruangan sekecil itu bersama tiga orang gadis? Nao! Tidak bisa dimaafkan, kamu harus kalah!”

“Aku lebih suka kamu menang. lalu akan kuambil alih posisimu dalam band.” “Ya, kamu harus menang, kemudian aku akan ikut bergabung.” “Kamu tahu seluk beluk tentang alat musik, ‘kan?” “Aku bisa bertanggung jawab memindahkan alat-alat musik.” “Kalau begitu …, aku akan bertanggung jawab untuk menyeka keringat mereka.” “Entah kenapa, aku jadi merasa lebih termotivasi.”

Dan mereka pun benar-benar mulai menyanyikan lagu sekolah kami— Aku merasa sebaiknya aku harus kabur dari kelas. Seketika mereka sedang mendiskusikan waktu bertanding, Chiaki berjalan ke dalam kelas. Semua orang terdiam. Aku selamat ….

“Apa kalian mengatakan hal-hal buruk tentangku?”

Beberapa anak menampilkan senyum canggung sebelum kembali ke tempat duduk mereka. Tampak semua orang akhirnya mengerti tentang etika dasar bermasyarakat: tidak menggosipkan orang yang sedang berada tepat di hadapannya.

Selama istirahat makan siang, mejaku penuh dengan roti lapis, yang dibeli teman-temanku dari toko — sepertinya mereka semua berdoa untuk kemenanganku. Tapi mana mungkin aku bisa memakan roti sebanyak ini!

“Nao, kamu tidak boleh kalah.”

“Meski aku tidak terlalu yakin tentang yang terjadi, kamu harus menang!” Satu per satu, mereka menepuk bahuku dan menyemangatiku. Aku hanya bisa menatap kosong pada piramida roti lapis. Bukan berarti mustahil bagiku untuk memenuhi harapan mereka, tapi karena semua orang begitu bersemangat mengenai ini, jujur aku cukup merasa terganggu.

Setelah pulang sekolah, aku membawa basku ke atap. Senpai ingin aku pergi ke sana terlebih dahulu, sebelum pertandingan, tapi sesampainya di sana, aku tidak melihat ada dirinya di sekitar. Kemudian, aku ingat kalau ia sedang bekerja hari ini. Lalu aku melihat sesuatu di lantai, di dekat pagar di mana senpai biasanya duduk. Aku berjalan ke sana untuk memeriksanya. Rupanya itu album John Lennon yang bertajuk <Rock ‘n Roll>. Lagu kedua dari CD itu berjudul <Stand by Me>. Aku mengambil pemutar CD-ku dan menempatkan CD tersebut ke dalamnya. Sewaktu kudengar suara serak dari John Lennon, aku memandang ke bawah melalui pagar dan menunggu. Aku mengambil sepotong roti lapis yang belum habis dimakan lalu melahapnya ke dalam mulutku.

Setelah separuh lagu berlalu, tiba-tiba aku ingat bahwa Mafuyu akan selalu langsung pulang ke rumahnya pada hari Jumat. Sial, aku benar-benar lupa tentang itu.

Tapi sesaat kemudian, punggung seorang gadis, beserta rambut berwarna merah marunnya, mulai terlihat. Aku merasa lega. Ada apa ini? Ia tidak perlu berbuat hal yang biasanya tidak perlu ia lakukan.

Aku terus membiarkan alunan lagu dari earphone-ku masuk ke dalam tubuh, bahkan di saat aku sedang melihat Mafuyu berjalan ke ruang latihan. Kugenggam erat pagar dan berdiri terpaku di sana, hingga suara John Lennon perlahan menghilang.

Kumatikan pemutar CD-ku lalu meraih basku.

Ketika sampai di ruang latihan, aku mendengar Mafuyu memainkan sedikit komposisi Beethoven di balik pintu. Aku menghentikan langkahku dan berpikir tentang bagaimana aku harus memasuki ruangan. Aku memikirkan berbagai ide bodoh, seperti menendang pintu agar terbuka lalu berteriak, “Maaf mengganggu!” tapi pada akhirnya, aku memutuskan untuk mengetuk pintu saja.

Komposisi itu tiba-tiba berhenti, seolah-olah terkejut.

Keheningan yang tidak nyaman ini bagai semburan udara dingin yang menusuk tulang, merembes melalui celah-celah kecil. Ini berlangsung selama beberapa saat.

“Anu …,” akulah yang pertama bicara, tapi aku tidak tahu harus berkata apa. “Aku ke sini untuk bertanding denganmu. Kemarin aku sudah mengatakannya, ‘kan?”

Pintu pun terbuka.

Gitar tergantung di bahu Mafuyu. Ia menatapku, lalu menurunkan tatapannya.

“… kamu benar-benar datang.”

Dari nada bicara Mafuyu, aku bisa merasakan sesuatu yang tidak beres. Entah bagaimana, ia berbeda dari biasanya.

“Sebagai perwakilan musik rock, aku di sini untuk membalas dendam pada supremasi musik klasik yang keras kepala.”

“Dasar bodoh! Apa kamu serius tentang ini? Kamu bahkan tidak tahu bagaimana melakukan hammer-on beberapa hari lalu.”

Jangan meremehkanku. Tunggu, kenapa ia sampai tahu hal seperti itu?

“Kamu mengintip aku berlatih?”

“Ti-tidak.”

Dengan wajah memerah, Mafuyu membanting pintu dengan kedua tangannya.

“—Kenapa kamu harus berbuat begini? Apa kamu begitu ingin menggunakan ruangan ini?”

Kenapa aku terus berbuat begini? Ah, bahkan aku sendiri tidak tahu.

Senpai bilang kalau itu demi cinta dan revolusi.

Chiaki bertanya padaku sebelumnya, Kamu begitu peduli terhadap Ebisawa-san, ‘kan?

Aku tidak tahu. Tapi aku tidak bisa membiarkan segalanya terus begini.

Mafuyu mengatakan dari balik pintu,

“Lakukan saja sesukamu di sana! Aku tidak peduli lagi.”

Untuk kali ini, aku memilih untuk tetap diam.

Baiklah. Aku sudah tahu kalau segalanya akan jadi begini.

Aku mengambil basku, mencolokkan kabelnya, kemudian berjongkok di dekat pintu. Ada lubang di bawah engsel pintu di mana aku bisa langsung mencolokkan kabel ke dalamnya. Ini adalah hasil dari pekerjaanku selama lima belas menit kemarin — sebuah kabel yang diperpanjang dari amplifier ke pintu.

Ketika aku hendak membajak perangkat stereo, gerak tanganku terhenti. Untuk beberapa alasan yang tidak diketahui, tiba-tiba aku teringat bagian tertentu dari sejarah musik yang Tetsurou pernah ceritakan padaku, sambil setengah bercanda.

Bermula dari sebuah aliran sungai kecil di Jerman. Sungai itu mengalir ke perkebunan bit gula, kemudian menyebar ke seantero Eropa. Berbenturan dengan musik lokal, berakhir entah ditelan oleh musik, atau malah menelan musik itu sendiri. Lalu mengalir ke laut, dan menyebar ke seluruh dunia. Seperti itulah lahirnya beragam hal di dunia ini, dan musik rock adalah salah satunya.

Itu sebabnya, jika kita mencari sejarah invasi dan integrasi yang membentang selama tiga ratus tahun, kita akan menemukan bahwa segala sesuatu saling terkait satu sama lain.

Aku lalu memasang kabel ke dalam lubang.

Tepat di saat itu, derit tajam memekik keluar dari amplifier di balik pintu.

Hampir bisa kulihat wajah Mafuyu yang ketakutan.

“Apa yang sudah kamu lakukan?”

Dia menyadarinya. Sebagai jawaban, aku memutar volume pada basku hingga maksimal. Ruangan dipenuhi suara feedback.

“Hei, apa yang kamu laku—”

Supaya bisa meredam suaranya, aku memainkan nada pembuka sebuah komposisi. Allegretto vivace. Aku tidak boleh bermain terlalu cepat — seakan aku menginjak lantai dengan tenaga, namun di saat bersamaan, mencari pijakan untuk melangkah dengan ujung kakiku. Menggunakan nada rendah untuk menghentak batas-batas oktaf, kemudian mundur sedikit dengan langkah yang sedikit ragu.

Bisa kudengar Mafuyu yang terhenyak. Tentu saja, ia pasti tahu komposisi ini hanya dari delapan bar. Ia telah merilis album dengan komposisi ini di dalamnya dua tahun lalu di bulan Februari. Aku telah mendengarkan CD itu berkali-kali, hingga di titik CD itu hampir rusak.

Itu adalah <Variasi dan Fugue untuk Piano di E♭ mayor> gubahan Beethoven ke-35 — variasi yang kemudian digunakan dalam <Simfoni No. 3>. Ada judul lain untuk komposisi piano ini. <Variasi Heroik>.

Waktu itu—

Kagurazaka-senpai mengatakan padaku ada empat alasan untuk memilih komposisi tersebut.

“Kamu lihat sendiri, ‘kan …,” senpai mulai menunjuk pada partitur saat ia menjelaskan. “Ini adalah bagian yang dimulai dengan melodi tunggal pada nada rendah. Hanya bas yang akan bermain di pembukaan 32 bar — ia pasti akan langsung mengenali ini sebagai <Eroica>. Dengan ini, kita akan lebih dulu melakukan rentetan tembakan dan menarik lawan ke dalam musik kita.”

Dengan itu, senpai mengetuk tempo pada partitur dengan jarinya.

“Ini allegretto vivace, jadi jangan pernah bermain terlalu cepat. Salah satu senjata Ebisawa Mafuyu adalah kemampuannya untuk memetik gitar secara akurat pada kecepatan tinggi. Jika pertandingan berubah menjadi situasi di mana kecepatan akan memutuskan pemenang …. Shounen, kamu akan kehilangan semua peluang untuk menang. Namun, kamu dapat mengatur kecepatan seluruh bagian dengan pembukaan 32 bar — itulah alasan utama aku memilih bagian ini.”

“Tapi …,” ada sedikit kegelisahan dalam suaraku. “pada bagian ini yang mengarah ke pembukaan, ada tempat di mana empat suara menyatu, dan melodi setelahnya akan dipimpin oleh Mafuyu! Jika ia mulai tergesa maka ….”

“Shounen, yang kamu pikirkan hanya keadaan di mana kamu mungkin bisa kalah ….”

Senpai menggeleng dan mendesah. Aku meringkukkan tubuhku. Maaf, tapi aku memang pecundang sejak lahir.

“Jangan khawatir. Ini adalah alasan kedua aku memilih bagian ini. Variasi ini ….”

Senpai memeriksa lembaran partitur dengan cepat. Sebuah variasi adalah bagian di mana tema utama yang singkat berulang kali dimainkan dengan mengubah gaya bermain, bahkan melodinya sendiri. Secara umum, bagian-bagian yang sama diulang untuk beberapa siklus.

“Hampir setiap variasi akan memiliki ritardando dan fermata di dalam bagian komposisi. Kamu sudah paham sekarang? Selalu ada jeda setelah jarak tetap tertentu. Tidak peduli seberapa cepat Ebisawa Mafuyu mempercepat tempo, fermata akan selalu mengganggu aliran permainan, dan dengan itu, kamu bisa kembali memainkan allegro-mu sendiri. Inilah yang membuat komposisi musik ini unik.”

*Fiuh*— aku menghela napas hingga bersuara. Betul, semuanya jadi masuk akal sekarang. Aku yakin ini adalah satu-satunya komposisi yang mungkin kumainkan — jika memainkan komposisi ini, maka aku benar-benar bisa menang.

“Dan alasan ketiga …,” senpai tersenyum sinis. “Komposisi ini dimainkan dalam E♭ mayor.”

Aku mengingat setiap kalimat yang sudah senpai katakan, dan berjalan dengan langkah berat seiring lagu pembuka. Pada akhir melodi bernada rendah yang kumainkan, terdapat jeda panjang. Gitar Mafuyu akhirnya mulai terdengar, dan suara gitar listriknya mengakhiri jeda.

Aku menahan napas saat kami memasuki pembukaan kedua; serangkaian melodi gitar sederhana namun ragu-ragu pun muncul. Aku merinding dalam sekejap. Penggunaan cerdik sinkopesasi bergerak dan menyatu hanya dalam dua nada yang berkejaran. Akan tetapi, semua musik yang kita tahu lahir dari perasaan memabukkan yang didapat ketika dua suara saling berkejaran.

Dalam pembukaan ketiga, aku memainkan sebuah baris melodi sederhana pada Mafuyu. Nada tinggi yang melengking dari suara gitar berubah menjadi suara rendah bas — tampak seakan langkah Mafuyu telah menapak melintasi air terjun yang deras.

Gitar Mafuyu memimpin pembukaan keempat dan mengambil alih tema utama. Seluruh melodi bergeser satu oktaf lebih tinggi, dan melewatkan oktaf tengah di bawahnya. Tempo mendadak bertambah cepat, dan meski terhempas oleh kekuatan besar, aku akhirnya berhasil mengambil celah di antara frase melodi Mafuyu, dan memaksanya agar terbuka lebar dengan nada rendahku, yang berperan sebagai perantara di antara frase-frase. Aku akan tamat jika gagal di sini. Tidak akan ada lagi kesempatan bagiku untuk memulai dari awal. Kupergunakan rem untuk menahan Mafuyu.

Kami akhirnya mencapai tema utama, tapi aku mati-matian berusaha mengimbangi Mafuyu. Itu hanyalah akor iringan biasa, tapi jari-jariku gemetar tanpa henti. Aku sedemikian rupa berusaha menggunakan jeda pendek untuk kembali ke tempo asli, tapi Mafuyu tidak pernah melambat, meskipun memasuki variasi kedua pada kecepatan yang menggebu-gebu — Mafuyu terus bisa memainkan tiga nada sewaktu aku hanya bisa memainkan satu nada.

Aku menarik napas dalam-dalam sebelum memasuki variasi keempat. Ini akan menjadi krisis utama.

Saat jemariku dengan lancar memetik legato enam belas ketukan, kusadari kalau Mafuyu saat ini berada dalam posisi yang kurang menguntungkan — tema sederhana Mafuyu terdengar goyah di tengah naik turunnya nada yang kumainkan. Ia mungkin berpikir bahwa aku tidak tahu cara memainkan bagian itu. Aku menahan napas dan memfokuskan perhatianku pada bagian yang intens. Aku kemudian teringat kata-kata Kagurazaka-senpai lagi.

“E♭ mayor itu—”

Saat ia dengan lembut membelai gitar yang terbaring di lututku dengan ujung jarinya, ia berkata,

“Kamu seharusnya tahu, ‘kan? Itu salah satu nada yang paling sulit untuk dimainkanpada bass dan gitar.”

Aku mengangguk.

Sederhananya, tangga nada yang mudah bagi gitar adalah yang tidak mengharuskan untuk menekan akord sebanyak mungkin saat bermain. Namun, E♭ — yang biasanya E♭ mayor — adalah nada yang lebih rendah dari nada terendah yang dapat dimainkan oleh gitar ataupun bas. Alhasil, gitaris perlu menekan pada ujung yang lebih tinggi dari akord sambil bermain, dan itu sesuatu yang agak sulit untuk dilakukan dalam hal pergerakan jari.

“Not E♭ mayor sama sulitnya untuk Ebisawa Mafuyu, terutama di mana ia harus memainkan not bernada tengah selama melodi bernada tinggi. Bahkan jika kecepatan adalah senjata terbesarnya, ia pasti akan sangat lemah dengan itu.”

“Eng, tidak, tunggu ….”

Aku mengetuk basku sekali.

“Ini juga sama sulitnya bagiku untuk memainkannya, ‘kan? Bukankah begitu?”

Senar bas dan senar gitar akan disetel pada nada yang sama, sehingga bagian itu akan sama-sama sulit bagi kedua belah pihak untuk dimainkan. Untuk mengatasi ini, senpai secara khusus telah menggeser nada sampai naik setengah dalam komposisinya, mengubahnya menjadi E mayor.

“Shounen …,” ekspresi mata senpai tidak lagi menunjukkan rasa jengkel — sebaliknya, kini telah berganti menjadi ekspresi kasihan. “Apa kamu masih ingat yang kukatakan saat itu? Aku bilang kalau kita akan melakukannya persis seperti yang Paganini lakukan, paham?”

“Eh …?”

Aku … ingat hal itu.

Itu adalah … sesuatu yang terjadi pada hari senpai memilih komposisi itu dari tumpukan besar CD dan partitur. Setelah mendengar suara gitar Mafuyu, senpai menyebut nama Paganini secara tiba-tiba.

“… tapi, bagaimana penjelasannya?”

“<Konserto Violin No. 1> gubahan Paganini. Kamu harusnya tahu itu, ‘kan?”

Aku memiringkan kepala dan mencoba mengingat lagu-lagu yang pernah kudengar sebelumnya. Aku kemudian teringat pengetahuan yang luas dari Tetsurou—

“… ah!”

Bas di lututku jatuh ke lantai dengan bunyi gedebuk.

gubahan Paganini — pada E♭ mayor.

Aku mengerti, begitu rupanya.

“Apa akhirnya kamu mengerti?”

“Aku harus menurunkan setengah nada ketika menyetem basku?”

Kagurazaka-senpai tertawa dan membelai kepalaku dengan lembut.

E♭ mayor adalah tangga nada yang sulit bagi pemain biola, sama halnya untuk gitaris. Namun, permainan solo dalam konser yang dimainkan oleh Violin Iblis, Niccolo Paganini, ditulis dalam E♭ mayor. Oleh karena itu, ia menyetem biolanya lebih rendah setengah nada—

Aku hanya … harus melakukan persis dengan yang ia lakukan.

Dengan menurunkan senar bas setengah nada, aku akan memaksa Mafuyu untuk mengambil not E♭ mayor yang sangat sulit, sementara aku memainkan not E mayor yang paling sederhana.

“… itu benar-benar licik ….”

Kalimat itu tidak sengaja keceplosan dari mulutku.

“Di mana liciknya?” Kagurazaka-senpai menonjok dahiku dengan pick. “Untuk mencapai kemenangan, melakukan semua sebisanya hingga saat terakhir sebelum bertempur itu diperlukan, bukan? Ini juga merupakan sebuah tindakan untuk menghormati musuhmu.”

“Yah, bisa jadi ….”

“Alasan keempat, yakni kita akan melakukan fugue setelah variasi,” senpai pun menyatakan alasan terakhirnya.

“Ebisawa Mafuyu pasti tidak akan lepas dari fugue. Oleh karena itu, kita hanya perlu membiarkan ia tahu bahwa komposisi musik ini bukanlah sesuatu yang dapat dimainkan oleh satu orang saja. Itulah berbagai alasanku kenapa memilih komposisi ini, <Variasi Heroik>. Komposisi ini ada untuk memenangkanmu dari Ebisawa Mafuyu, itu sebabnya—”

Senpai meletakkan tangannya di bahuku dan menatap langsung mataku saat dirinya berkata,

“—bulatkan tekadmu, dan beri ia pelajaran.”

Setelah bermain melalui frase yang berkelanjutan, aku menyenderkan punggungku dengan kuat pada pintu dan menarik napas dalam-dalam. Senar maupun leher bas telah menjadi licin karena keringatku. Variasi kelima akhirnya kembali ke dua suara melodi sederhana, tapi waktu untuk beristirahat itu usai dalam sekejap. Aku bergegas langsung ke variasi keenam dalam C minor tanpa mendapatkan kesempatan untuk memperlambat tempo. Itu adalah satu-satunya bagian di mana penurunan setengah nada pada bas tidak mampu memperlihatkan dampaknya. Seolah Mafuyu telah membelah frase pembukaan dengan sebuah kapak. Melodi melengking menyeret tubuhku. Jariku mulai berputar, dan aku beberapa kali salah memainkan not. Aku hampir bisa melihat pertanyaan beruntun dari Mafuyu yang muncul di tempat yang telah kurencanakan untuk berhenti — sebagai tanggapan, aku menjawab dengan menggunakan nada serupa yang bercampur dengan desahanku.

Bahkan ketika kami memasuki kanon yang bagai mimpi itu, Mafuyu hampir tidak menunjukkan belas kasihan. Jika aku terlambat satu ketuk saja, ia akan segera menghancurkan baris melodiku yang berusaha memperkirakan langkahnya, dan memulai melodi lanjutan sendiri.

Aku kemudian bisa merasakan sedikit tekanan mendorong punggungku. Meski tidak bisa melihatnya, entah bagaimana, aku tahu … bahwa Mafuyu bersandar di pintu, sama sepertiku. Aku hampir bisa mendengar detak jantung Mafuyu, walaupun bisa saja itu suara detak jantungku sendiri ataupun gema suara bas.

Saat rangkaian backbeat mempertahankan melodi variasi kesepuluh — melodi berbarengan dengan sekumpulan capung beterbangan di sekitar kami — Aku menjadi semakin bingung. Kenapa aku melakukan hal seperti ini di tempat begini?

Aku lupa kalau aku sudah terlalu memikirkan berbagai macam hal sewaktu melirik partitiur sebagai upaya untuk mengimbangi permainan gitar Mafuyu. Tips yang diberikan senpai padaku sudah hilang sepenuhnya dari otakku.

Yang tertinggal hanyalah jari-jariku yang bergerak dengan sendirinya.

Entah mana yang merupakan suara basku, dan mana yang merupakan suara gitar Mafuyu. Aku tidak tahu. Aria Pro II milikku yang telah dimodifikasi dan Stratocaster Mafuyu seperti kembaran yang berasal dari sepotong kayu yang sama — mereka berbaur satu sama lain dengan sempurna. Aku tidak bisa menjelaskan fenomena tersebut hanya dengan berkata basku dan gitar Mafuyu punya seteman yang sama sehingga kedua alat musik itu bisa berharmonisasi tanpa cela. Seolah kedua alat musik itu berjarak beberapa milimeter saja, pemotongan sirkuit, dan keseimbangan teliti dari nada tinggi dan rendah — keajaiban yang terjadi hanya setelah integrasi dari semua yang disebutkan di atas.

Mafuyu dan aku seperti tangan kanan dan kiri seorang manusia—

Bersama dengan itu, variasi akhir pun tiba. C minor. Itu mirip dengan luasnya laut di malam hari yang baru saja dilanda badai dahsyat.

Guntur perlahan-lahan tidak lagi menggelegar, namun masih bergema jauh di dalam awan.

Bisikan-bisikan dari dalam samudera.

Dengan tangan kananku, kupetik sebuah nada G rendah yang terdengar tanpa henti.

Kemudian, bersama dengan terbelahnya awan, aku akhirnya bisa melihat kedatangan fajar.

Dengan lemah kudengarkan gemuruh di perutku, dan melemaskan tangan kiriku. Kemudian, sekali lagi kucengkeram erat leher basku dengan telapak tangan yang berkeringat ini.

Bagian fugue. Akhirnya aku tiba di sini.

Setelah mengusir semua pikiran-pikiranku yang terbakar dalam api kegelapan, yang muncul di hadapanku adalah sesuatu yang penuh dengan kemungkinan tak terbatas —ansambel yang berpendar seperti kristal. Aku segera menarik keluar not pertama dari frase awal. Empat suara sederhana — yang telah ada sejak awal perang — berbunyi, selagi melodi utama fugue yang mengikuti aba-aba dan memulai alirannya. Setelah empat bar, Mafuyu mulai mengejar — mengejar diriku. Di antara dua melodi yang tidak saling memotong dan yang tidak saling bersentuhan, terdengar melodi yang tampak seperti fatamorgana. Siapa sebenarnya yang memainkan itu? Jelas, itu adalah Mafuyu dan aku. Kami terus-menerus mengirimkan fragmen melodi, yang perlahan-lahan bergabung menjadi baris melodi yang jernih — rasanya terdengar seolah ada orang ketiga yang bermain bersama kami. Aku tidak begitu tahu yang kini sedang terjadi — yang kulakukan hanyalah memainkan semua yang tertulis dalam partitur buatan senpai. Mafuyu tampaknya telah menganalisis maksud nada ini dalam sekejap, dan terus membalasku. Itu adalah satu-satunya hal yang bisa kupahami. Namun, apa itu benar-benar mungkin? Tanpa menggunakan kata-kata, hanya menyampaikan perasaan kami melalui musik — bisakah keajaiban ini sungguh terjadi? Atau akankah keajaiban ini menghilang saat aku membuka mata—

… berangsur-angsur, hal tersebut pun menghilang.

Aku berhenti menggerakkan jari-jariku.

Melodi Mafuyu, yang seharusnya mengejarku, tiba-tiba menghilang.

Bayangan kehangatan dari Mafuyu, yang kurasakan di punggungku sejak tadi, juga ikut menghilang.

Aku berbalik. Sebuah suara *ngiiing* datang dari balik pintu. Itu suara samar yang dihasilkan oleh feedback dari gitar.

Aku punya firasat buruk tentang ini.

“… Mafuyu?”

Aku mencoba memanggil dirinya. Ia tidak menjawab.

Sebaliknya, aku mulai mendengar suara-suara tak menyenangkan dari erangan dan tangisan melalui celah-celah pintu.

Bab Sebelumnya | Halaman Utama | Bab Selanjutnya

5 thoughts on “Sayonara Piano Sonata – Bab 13

    Shihinara said:
    February 22, 2017 at 3:38 pm

    Mafuyu kenapa??? Hueeee penasara…

    Like

    Sayonara Piano Sonata – Bab 12 « Hanami Translation said:
    February 27, 2017 at 5:06 am

    […] Bab Sebelumnya | Halaman Utama | Bab Selanjutnya […]

    Like

    DBZ' said:
    March 1, 2017 at 8:59 pm

    terus dilanjut min..

    Like

    […] Bab Sebelumnya | Halaman Utama | Bab Selanjutnya […]

    Like

    Sayonara Piano Sonata – Bab 15 « Hanami Translation said:
    October 18, 2017 at 1:56 am

    […] Bab Sebelumnya | Halaman Utama | Bab Selanjutnya […]

    Like

Leave a comment